RKUHP Memuat Larangan Kumpul Kebo dan Ancaman 6 Bulan Penjara, Begini Penjelasannya

  • Whatsapp

Jakarta,ANKASAPOST.ID -Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menyerahkan draf final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat RKUHP kepada Komisi III DPR RI pada hari ini, Rabu, 6 Juli 2022.

 

Bacaan Lainnya

Dalam draf final yang diterima Tempo, ada sejumlah pidana kejahatan kesusilaan, salah satunya mengatur mengenai larangan kohabitasi atau kumpul kebo.

 

Pasal ini mengancam pelaku perbuatan itu dengan hukuman penjara dan denda. “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi pasal 416 RKUHP.

 

Namun, keberadaan tindak pidana ini masih bersifat delik aduan yang berarti akan mendapat tuntutan semisal ada yang mengajukan pengaduan: suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

 

Selain itu, pengaduan juga dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Hal ini membuat pengadu lebih perlu mempertimbangkan lebih matang untuk lanjut ke pengadilan.

 

Berdasarkan jurnal berjudul Pengaturan Terhadap Perbuatan Kumul Kebo (Kohabitasi) dalam Hukum Pidan Indonesia, istilah kumpul kebo sendiri berasal dari masyarakat Jawa tradisional yang artinya menjurus pada perilaku kerbau atau sapi tinggal dalam satu kandang.

 

Kerbau dipandang sebagai hewan yang memiliki sifat semaunya sendiri. Hal ini becermin dari perilakunya yang mampu hidup bersama tanpa adanya ikatan perkawinan.

 

Secara umum, kumpul kebo juga diartikan sebagai pasangan yang hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan dan melibatkan hubungan intim di dalamnya. Bahkan pasangan yang masih meminang atau setengah resmi pun dapat dikatakan kumpul kebo semisal terlihat hidup sudah bersama,

 

Namun, kebanyakan kumpul kebo ini lebih banyak dilakukan oleh pasangan remaja yang cenderung menerapkan gaya berpacaran modern. Hal ini dibuktikan pada survey yang di lakukan oleh Diponegoro Care Center (DCC) terhadap mahasiswa UNDIP pada tahun 2007, didapatkan sebanyak 869 orang mahasiswa sempat tinggal bersama dengan mencapai 9, 86 persen.

 

Lalu diperkuat oleh penelitian terhadap 200 mahasiswa Universitas Indonesia yang menunjukan bahwa 36,2 persen dari mahasiswanya sempat melakukan kumpul kebo. Alasan mereka melakukan hal tersebut karena adanya ungkapan sayang, rasa memiliki, sampai keakraban dan perhatian dari pasangan.

 

Di Indonesia, fenomena kohabitasi ini menjadi hal yang dipertentangkan, baik dari sudut pandang agama dalam cara apapun, baik itu hukum negara, maupun hukum adat. Oleh karenanya, aturan RKUHP muncul untuk mewakili ketiga elemen hukum tersebut.

 

Namun di satu sisi, pengacara dan politikus asal Indonesia, Gayus Lambuun, mengkritik bahwa masalah kesusilaan memang tidak pernah dipersoalkan oleh negara karena negara tidak berhak mengatur masalah tersebut. Sebagaimana tercantum pada Pasal 28 UUD RI 1945 yang menjamin perlindungan terhadap hak pribadi warga negara.

 

Berbeda dengan negara-negara barat seperti Inggris dan Kanada. Di sana, beberapa pasangan memilih hidup bersama karena mereka tidak ingin menghadapi konsekuensi hukum dari perceraian, sementara yang lain merasa bahwa hubungan jangka panjang sama baiknya dengan pernikahan. Adapula yang menilai kumpul kebo sebagai alur dari pernikahan dan memilih pasangan.

 

Demikian tinjauan draf final RKUHP. Kabiro(FRK²²)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *