Ankasapost.id-“Laisal fataa man yaquulu kaana abii. Wa laakinnal fataa man yaquulu haa anaa dzaa.” (Bukanlah pemuda yang menyatakan inilah ayahku. Tapi, pemuda adalah yang menyatakan inilah aku). Sebuah pepatah bahasa Arab yang pernah diajarkan almukarram Bapak Guru Slamet Saiful Muslimin ketika sekolah di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) atau Mandrasah Aliyah Negeri I Yogyakarta, pada tahun 1978. Sebuah sekolah jenjang SLTA yang kini “mengantarkan” dua calon wakil presiden secara bersamaan: Dr. Abdul Muhaimin Iskandar, angkatan 1984 dan Prof. Dr. Machfud MD, Angkatan 1975.
Pepatah berbahasa Arab itu kini layak kita refleksikan dengan positioning pemuda dalam menghadapi pentas kenegaraan di Tanah Air ini. Panggung politik Indonesia mencatat, 28 Oktober 1928, Hari Sumpah Pemuda, yang menegaskan identitas pemuda dalam konteks jatidiri sebagai bangsa Indonesia. Bukan bangsa-bangsa dari berbagai pulau di Nusantara. Sebuah penegasan politik yang menggambarkan keterpanggilan persatuan pemuda untuk sebuah cita-cita negara merdeka. Setidaknya, terbangkit untuk membebaskan diri dari cengkeraman kolonial.
Sejarah mencatat, keterpanggilan pemuda Indonesia telah memberikan peran besar untuk negeri ini. Tak bisa dipungkiri. Kolaborasi kaum pemuda dan generasi yang lebih tua telah mengantarkan titik kulminasi politik untuk negeri ini. Di lapangan, kita jumpai perlawanan heroik secara bersenjata, meski dengan keterbastasan kecanggihan amunisi . Di medan diplomasi, juga kita mencatat perjuangan politik di forum-forum internasional, bersifat bilateral ataupun antar-bangsa. Kedua medan itu dilakukan secara sinergis. Untuk cita-cita kemerdekaan.
Kini, setelah memasuki masa 95 tahun berjalan pasca Sumpah Pemuda pada 1928, bagaimana positioning pemuda di negeri ini? Di satu sisi, kita sedang menyaksikan sebuah drama kepemudaan: “inilah ayahku”. Dirinya melangkah ke panggung politik kontestasi pemilihan presiden (plpres) karena memamerkan posisi ayahnya. Ia bersandar pada posisi politik ayahnya yang kini memang sedang berkuasa. Inikah pemuda sejati? No. Pemuda seperti ini akan langsung loyo bahkan lenyap saat ayahnya tak lagi berkekuasa.
Maka, mendasarkan pepatah bahasa Arab di atas, yang namanya pemuda adalah yang menegaskan dirinya “inilah saya”. Pemuda seperti inilah yang telah diteladankan para pejuang kita, sampai generasi Bung Karno dan Bung Hatta. Jatidiri pemuda tersebut punya semangat heroik, kapastitas nasional dan global dalam keilmuan, mental baja dan jiwa kemandirian. Nasionalismenya benar-benar berkobar. Motivasi dedikasinya untuk negara dengan cita-cita yang luar biasa. Dalam dirinya terbesit “no way for colonialist. Go to hell you are”. Bahkan, tak ada cerita mau berkomplot dengan pihak asing hanya untuk mementingkan diri, kecuali kalangan oportunis seperti Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Itulah potret pemuda sejati yang anti kompromi (haa anaa dzaa).
Yang perlu kita renungkan saat ini, bagaimana sosok pemuda dalam menghadapi realitas kenegaraan yang sangat dramatik, dari sisi ekonomi, politik, sosial, hukum, kesehatan, pendidikan dan hak-hak asasi lainnya? Haruskah diam menghadapi melodrama yang sangat memprihatinkan itu? Atau, haruskah larut lalu – atas nama kepentingan sempit pribadi dan atau kelompok – lebih memilih bersekongkol dalam samudra dramatik itu? Bahkan, haruskah berjuang ekstra keras bersama sosok pemuda yang kini sedang bergelayut pada sang ayah yang sesungguhnya juga sedang mencari sandaran untuk menyelamatkan diri?
Sang pemuda sejati haruslah super cerdas, secara akal ataupun ruhani. Ia juga harus berani menunjukkan jatidiri sebagai sang patriot. “Inilah aku, sang pemuda…”, yang harus mengukir sejarah seperti 95 tahun silam dan diterjemahkan secara politik pada era-era kemerdekaan. Generasi muda masa lampau berhasil menciptakan perubahan yang sangat fundamental.
Maka, generasi kini juga tak boleh kalah. Justru, dengan status generasi four poin zero (4,0), mereka harus jauh lebih maju, educated dan super kreatif. Dunia digital yang ada di hadapannya harus mampu menciptakan lompatan quantum yang jauh beda dibanding sekitar seabad lalu, atau sekitar tiga-perempat lalu.
Maka, menghadapi realitas stagnasi bahkan kemunduran dan kehancuran potret kenegaraan saat ini, pantang bagi pemuda berdiam diri, atau terimo ing pandum. Karakter pemuda yang agresif, kreatif bahkan berani menjadi modalitas untuk mengiringi perjuangan pro perubahan. Inilah jatidiri kalian sebagai pemuda.
Kini, dengan jumlah kalian sekitar 52% dari pemilik hak suara, sejatinya perubahan ada di tangah kalian. Pertanyaannya, apakah kalian akan menjadi korban dari arogansi kekuasaan yang memang sudah terbukti gagal menjalankan amanat konstitusi? Atau, kalian akan ikut serta membangun sejarah baru yang sedang berjuang untuk perubahan secara mendasar?
Pemuda cerdas, kreatif dan punya harga diri tak punya opsi lain: harus ikut bersama para pejuang pro perubahan. Itulah jatidiri kalian sebagai pemuda perubahan. Pemuda perubahan bukanlah slogan. Tapi, keterpanggilan sejarah yang harus terulang. Timing saat ini memang memanggil kalian. Untuk mencetak sejarah baru. Peran kalian dinanti, di bilik suara. Juga, di medan sebelumnya. Karena kontestasi pilpres saat ini penuh bayang-bayang kejahatan sistimatis dan terencana.
Kalian tak selayaknya mentolelir atau diam. Lawan kejahatan itu. Tentu dengan kecanggihan teknologi dan kemampuan yang dimiliki. Heroisme dan energi kalian sungguh berarti bagi masa depan bangsa dan negeri ini. Jika lengah, maka kalian bersama generasi tua ini akan menghadapi realitas pahit: diperbudak. Bahkan, tak bernegara lagi secara utuh yang berbendera Merah Putih. Setidaknya, hanya akan menjadi “penonton aktif” seperti nasib Bumiputera di Singapura.
Posisi kita saat ini di tepi jurang: tergelincir dan mati, atau selamat. Inilah topografi politik pilpres 2024. Bukan permainan coba-coba. Try and error. Bukan pula pesta demokrasi yang hura-hura. Pesta politik saat ini penentu masa depan bangsa dan negara kita tercinta. Wahai pemuda… Bangkitlah. Itulah jatidirimu. Jangan khianati dan lecehkan kodratmu. You are the youth. Harus bangga sebagai pemuda. Orang tua kalian, bahkan yang telah mendahuluinya pun akan tersenyum bangga. “Ternyata, pemuda Indonesia kini masih bicara tegak. Punya idealisme yang berkobar. Persis seperti yang tergelar pada 28 Oktober 2028”, ujar imaginer para mendiang.
Bekasi, 28 November 2023